Advertisement
Guest User

genshikenmirai

a guest
Jun 30th, 2017
145
0
Never
Not a member of Pastebin yet? Sign Up, it unlocks many cool features!
text 15.59 KB | None | 0 0
  1. “Gen-kun!”
  2. Seorang gadis mungil berambut hijau berlari menghampiri pria yang dipanggilnya. Pria berkacamata tersebut belum sepenuhnya menoleh saat sang gadis menubruknya dan hampir membuatnya terjengkang.
  3.  
  4. “Hei, hei…malu diliatin orang.”
  5.  
  6. “Biarin, abisnya udah lama gak ketemu.”
  7.  
  8. Gen-kun menghela napas dan membiarkan pelukan Gen-tan, merasakan wajah sang gadis terbenam di dadanya. Untunglah pagi itu tidak terlalu banyak orang di lapangan depan museum, sesuai perkiraan Gen-kun. Hanya ada segerombolan anak SMA yang terlihat mengantuk dan seorang petugas kebersihan dengan penghisap debunya.
  9.  
  10. Akhirnya Gen-kun menaruh lengannya di bahu Gen-tan dan dengan lembut menarik gadis tersebut menjauh. Mata Gen-tan sembab dengan air mata, tetapi senyumannya begitu lebar. Mau tak mau Gen-kun ikut tersenyum melihat kelakuannya.
  11.  
  12. “Ayo kita masuk, keburu siang.”
  13.  
  14. Tidak ada antrian di loket. Gen-kun memindai iKTP miliknya di mesin tiket otomatis. Layar menunjukkan pemotongan 250 rupiah dari saldo yang tersimpan, harga masuk untuk seorang dewasa. Slot di bagian bawah mesin mengeluarkan tiket masuk elektronik berbentuk sekeping kartu hitam. Hanya ada ada logo Ganesha dan tulisan ‘Museum Institut Teknologi Bandung’ berwarna perak di atasnya.
  15. Gen-tan melakukan hal yang sama. Hanya saja saldonya hanya berkurang 100 rupiah.
  16.  
  17. “Kamu masih ngaku-ngaku pelajar?”
  18.  
  19. “Iya dong, kalau bisa kenapa nggak? Salah sendiri tampang tua,” jawabnya dengan cengiran nakal. Pukulan ringan melayang ke bahunya. Gen-tan hanya tertawa.
  20.  
  21. Kedua sahabat itu melewati gerbang masuk setelah memindai tiket mereka. Suara rekaman seorang wanita menyambut mereka dalam Bahasa Indonesia, Sunda, Inggris, dan Mandarin.
  22.  
  23. Pemandangan pertama yang menyambut tamu-tamu museum adalah replika gerbang masuk ITB, lengkap dengan bunga-bunga yang selalu mekar sepanjang tahun. Indah. Tapi sekaligus ganjil, karena gerbang yang ada di ingatan mereka lebih tidak terawat, catnya lebih kusam, bunga dan daunnya terkadang kecokelatan.
  24.  
  25. Tentu pemandangan seperti itu tidak layak untuk sebuah museum, apalagi museum pendidikan yang menjadi kebanggaan Jawa Barat. Gerbangnya harus menawan, memukau jutaan turis yang setiap tahun datang berkunjung. Di sisi pinggir terdapat penyewaan jas almamater klasik dan modern, untuk mereka yang ingin lebih dalam lagi merasakan The ITB Experience™(terutama anak-anak SMA yang berharap bisa betulan mengemban warna toska tersebut).
  26.  
  27. Sebuah keluarga turis domestik sedang asik berfoto di depan latar belakang bunga-bunga ungu.
  28.  
  29. “Foto di sana yuk, Gen-kun!” ajak Gen-tan, menarik lengan si pria.
  30.  
  31. “Buat apa?”
  32.  
  33. “Buat kenang-kenangan.”
  34.  
  35. Gen-kun mendengus.
  36.  
  37. “Kenang-kenangan kan untuk orang yang…” kata-katanya terputus melihat wajah Gen-tan yang mendadak muram.
  38.  
  39. “Kau benar,” jawab Gen-tan, melepaskan pegangannya.
  40.  
  41. Rasa bersalah menerpa Gen-kun. Tidak ada salahnya berpura-pura, menyenangkan sahabatnya (atau terkadang kembarannya, adiknya, kakaknya, kekasihnya, walau untunglah tidak pernah dalam waktu bersamaan) yang ada di sampingnya sejak…entah berapa tahun yang lalu. Ia tidak suka mengingat banyaknya tahun yang telah mereka lewati. Tapi ia yakin Gen-tan sendiri sebaliknya, karena ia selalu merayakan ulang tahun mereka, dengan jumlah lilin yang semakin absurd setiap tahunnya.
  42.  
  43. “Tidak, aku yang salah. Tidak ada salahnya berfoto. Yuk.”
  44.  
  45. Senyum Gen-tan kembali lagi, lebih lebar dan berbinar. Dia memang cocok tersenyum, benak Gen-kun.
  46.  
  47. Setelah mengulang foto berkali-kali dengan jaket almamater, tanpa jaket almamater, pose serius, hingga poseabsurd kesukaan Gen-tan (yang sukses membuat pinggang dan lutut Gen-kun nyeri), mereka beranjak pergi diikuti lirikan sinis orang-orang yang sudah mengantre lama untuk berfoto.
  48.  
  49. Jemari Gen-tan asik menggeser foto demi foto di layar ponselnya, tertawa riang melihat muka tersiksa dan malu Gen-kun. Gen-kun menggelengkan kepalanya, walau dengan senyum.
  50.  
  51. Rasanya begitu menyenangkan, berjalan bersama Gen-tan sekali lagi di dalam kampus lama. Walau sekarang tidak ada lagi mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang, asik berceloteh memperdebatkan materi kuliah atau menggosipkan dosen-dosen. Obrolan mereka tergantikan dengan celetukan standar pelancong ‘kamar mandinya di mana?’, ‘restorannya di mana?’, dan (yang paling Gen-kun tidak suka) ‘kok isinya gini doang?’.
  52.  
  53. Langkah mereka membawa kedua orang tersebut ke gedung yang terakhir dinamakan Student Activities Center. Lobinya berbentuk lingkaran dengan dinding yang terdiri dari ratusan layar interaktif; masing-masing menampilkan profil dari semua UKM yang pernah ada di ITB, hasil jerih payah Lembaga Pelestarian Budaya dan Sejarah Kemahasiswaan ITB.
  54.  
  55. Setiap layar memiliki lampu indikator di sudut kanan bawah yang menyala hijau jika UKM tersebut masih aktif. Di samping lampu tertera tahun pembentukan dan tahun pembubaran masing-masing unit.
  56.  
  57. Gen-kun menyentuh pelan salah satu layar berisi unit bela diri yang bertuliskan angka 2007-2019/20. Foto-foto mereka terus berkurang anggotanya dari tahun ke tahun.
  58.  
  59. Pembubaran sebenarnya bukan kata yang tepat. Kebanyakan UKM cenderung meredup dan mati perlahan dari punahnya anggota dan aktivitas. Hingga ujungnya nama mereka dihapus dalam audit UKM setelah berhentinya regenerasi internal.
  60.  
  61. Nasib yang bisa menimpa siapa pun.
  62.  
  63. Gen-tan dan Gen-kun mulai berjalan mengelilingi sisi ruangan. Tiap layar silih berganti menampilkan logo, foto, dan video kegiatan masing-masing unit. Wajah-wajah ceria dari pemuda dan pemudi yang disatukan oleh kesamaan minat mereka dan berkomitmen meluangkan waktu di tengah terpaan akademis kampus demi mengembangkan diri…atau setidaknya lari sejenak dari kenyataan. Unit-unit yang lebih tua memiliki foto hitam putih. Hanya sedikit dari mereka yang masih berlampu hijau.
  64.  
  65. Terkadang Gen-tan berseru gembira ketika menemukan unit yang ia kenali. Dia bahkan masih ingat unit-unit yang pernah Genshiken berikan kartu ucapan dirgahayu, sebuah program kerja yang hilang dan muncul tergantung badan pengurusnya.
  66.  
  67. “Yang ini si Tanto yang gambar terus dari dia TPB sampai tingkat 4. Jarang lho swasta yang masih mau gambarin kartu ucapan. Ternyata gebetan dia anggota unitnya, makanya dia semangat banget bikin, haha. Sayangnya sampai akhir juga gak di-notice tuh.”
  68.  
  69. Gen-tan terus berceloteh riang, menyebutkan serentetan nama yang sebagian Gen-kun kenali dan banyaknya tidak.
  70.  
  71. Suara Gen-tan mendadak hilang di tengah kalimat soal unit yang pernah berkolaborasi sekali — dan sekali saja – dengan mereka.
  72.  
  73. Gen-kun tahu apa yang ia lihat. Gen-tan harus mendongak melihat posisi layar yang sedikit di atas kepalanya, sebaliknya Gen-kun harus merunduk.
  74.  
  75. Ungu.
  76.  
  77. Warna ungu mendominasi layar kecil tersebut, menjadikannya mencolok di tengah lautan layar serupa.
  78.  
  79. Layar tengah menampilkan salah satu logo yang pernah mereka pakai, silih berganti dari tahun ke tahun. Hanya dua hal menjadi benang merah: warna ungu dan huruf G dari Genshiken. Di bawahnya tertera tahun penggunaan logo.
  80.  
  81. Mereka diam dalam khidmat, menatap gambar yang mulai berganti dari logo ke foto-foto anggota.
  82.  
  83. Siapa pun yang mengumpulkannya patut diacungi jempol, dokumentasi dari tahun ke tahun terbilang lengkap. Foto disusun berdasarkan tahun pengambilan, maka antarfoto terdapat anggota-anggota yang awalnya muncul sebagai anggota termuda, anggota biasa, hingga akhirnya anggota tua dengan guratan wajah bukti perjuangan mereka di ITB.
  84.  
  85. Sebagian kecil dari mereka masih muncul walau sudah tidak menjunjung gelar mahasiswa.
  86. Hingga akhirnya mereka menghilang. Tapi adik-adik junior mereka menggantikan posisi mereka sebagai swasta.
  87. Dan begitu terus selanjutnya. Siklus kemahasiswaan yang sudah bagaikan hukum alam.
  88.  
  89. “Sayang nggak ada foto karyanya ya,” kata Gen-tan, suaranya sengau, menahan haru.
  90.  
  91. Gen-kun berdehem dan menenggak ludah. Jika tidak, ia tahu suaranya juga akan tidak wajar.
  92.  
  93. “Masih ada foto anggotanya aja udah syukur.”
  94.  
  95. “Tapi…nggak ada foto kita.”
  96.  
  97. Gen-kun terdiam. Dari sudut matanya, ia melihat setetes air mata menuruni pipi mungil Gen-tan. Lengan Gen-kun merangkul partnernya, sekaligus meneguhkan dirinya sendiri. Foto terus berganti hingga akhirnya kembali menampilkan logo pertama Genshiken.
  98. Tanpa kata, Gen-kun beranjak dari depan layar sunyi tersebut, masih terus merangkul Gen-tan. Sesampainya di luar bangunan, sinar matahari yang panas menerpa mereka, membangunkan keduanya.
  99.  
  100. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Gen-kun,mencoba menilik ekspresi gadis itu, “jadi mau lanjut?”
  101.  
  102. Gen-tan mendongak. Ia tidak tersenyum, namun juga tidak lagi menangis. Sorot matanya tegas, pasti. Mulutnya terkatup rapat dan teguh. Dia mengangguk.
  103.  
  104. “Baiklah…”
  105.  
  106. Tangan Gen-tan menggenggam erat tangan Gen-kun yang jauh lebih besar. Walau terkesiap, Gen-kun tidak menepisnya. Ia membalas genggaman tersebut, merasakan kehangatan yang terpancar.
  107.  
  108. Jalanan mulai ramai. Pengunjung berseliweran, sebagian besar menuju daerah kantin yang telah dipugar menjadi jajaran restoran yang menyajikan menu asli dari ITB zaman dahulu. Gen-kun dan Gen-tan melewati daerah empat Labtek, Indonesia Tenggelam yang kini tidak pernah berlumut, dan berbelok ke kiri menyusuri daerah Timur kampus.
  109.  
  110. Langkah mereka mulai terasa berat walau belum lama mereka berjalan. Tanpa sadar, mereka memperlambat langkah.
  111.  
  112. Akhirnya mereka sampai ke salah satu bangunan tertua yang masih berdiri, walau telah melewati renovasi yang tak terhitung lagi. Setidaknya bentuk luarnya masih dipertahankan.
  113.  
  114. Pintu masuk utama terbuka lebar ke sebuah aula yang lengang. Hanya ada sepasang pacar yang melihat-lihat detail dari interior kayu bangunan, si pria asyik menjelaskan prinsip-prinsip konstruksi abad ke-20 ke si wanita yang hanya mengangguk setengah sadar.
  115. Tanpa mengacuhkan papan keterangan yang tersebar di aula, Gen-kun dan Gen-tan berjalan ke tangga kayu di sudut ruangan. Jalan masuknya dibatasi oleh seutas tali bertuliskan ‘Dilarang masuk’ dalam empat bahasa. Untungnya CCTV tidak merekam sudut ini. Dan kalaupun iya, sudah tidak relevan lagi bagi mereka.
  116.  
  117. Gen-kun menggeser tali tersebut sedikit, sekedar cukup memberikan jalan masuk untuk mereka berdua. Langkah mereka berjinjit perlahan, mencoba meminimalisir suara. Lantai berikutnya gelap. Terlalu gelap, bahkan, hingga Gen-kun harus menggunakan tangan satunya untuk menyalakan fungsi senter ponselnya.
  118.  
  119. Ternyata kondisinya masih saja berdebu. Mungkin karena memang tidak dimaksudkan untuk pengunjung. Tapi ini bukan tujuan akhir mereka. Satu jenjang tangga lagi mereka daki perlahan. Kayunya berkeriut terkena langkah mereka.
  120.  
  121. Hampa. Loteng Aula Timur tersebut begitu luas dan hampa. Sinar matahari tersaring melalui barisan jendela kecil yang kusam, menjadikan nuansa temaram. Sayup-sayup terdengar suara keramaian di luar.
  122.  
  123. Masih terus bergandengan, Gen-kun dan Gen-tan memasuki ruang sekre Genshiken pertama, puluhan tahun yang lalu. Sekarang generasi yang sempat menempati tempat ini telah habis seluruhnya sejak delapan tahun lalu. Tapi generasi setelah mereka masih mendengar kisah-kisah pengalaman di sekre Altim yang diceritakan dengan pahit manis.
  124.  
  125. Walau agak pengap, setidaknya ruangan tersebut tidak terasa terlampau panas karena jendela yang terbuka dan bahan kayu yang melapisi lantai. Gen-kun mematikan cahaya senter dari ponselnya.
  126.  
  127. Dua pasang kaki terus berjalan hingga sampai di tembok seberang tangga. Mereka duduk perlahan, berdampingan. Gen-tan menyenderkan kepalanya ke bahu Gen-kun lalu memejamkan mata.
  128.  
  129. “Gen-kun?”
  130. “Hmm?”
  131. “Aku senang sekali bisa ada di sini. Rasanya cepat sekali waktu berlalu ya.”
  132. “Yah, kebanyakan manusia tidak beruntung hidup selama kita.”
  133. “Aku tahu.”
  134.  
  135. Gen-kun mengusap rambut gadis itu, hijau pendek sebahu sebagaimana rancangan terakhir yang dijelmakan pada mereka. Gen-kun masih lebih terbiasa dengan rambut keriting diikat di samping, walau rancangan itu sudah berpuluh tahun tidak digunakan.
  136.  
  137. “Gen-kun?”
  138. “Ya?”
  139. “Ke mana kita akan pergi?”
  140. “Aku…tidak tahu.”
  141. “Surga…atau reinkarnasi…manusia bisa menyambut kemati—akhir mereka karena masih ada harapan di sana. Tapi entah ke mana kita akan pergi.”
  142.  
  143. Gen-kun terdiam. Sebal sekali rasanya hanya di momen-momen seperti ini partnernya bisa mengucapkan kalimat-kalimat yang lebih berbobot.
  144. Pria itu menunduk melihat Gen-tan, rambutnya yang hijau terlihat lebih pudar, kepalanya yang tersender juga lebih ringan.
  145. Mungkin hanya imajinasinya.
  146.  
  147. “Gen-kun, kau tahu? Sebenarnya selama ini aku membayangkan ke mana kita akan pergi. Kita akan bertemu lagi dengan teman-teman kita, anggota-anggota Genshiken dari awal yang sekarang sudah tidak di sini. Akan ramai sekali. Mereka semua akan tertawa dan tersenyum menyambut kita. Lalu kita akan bermain bersama, berkarya bersama. Dan kita semua bisa terus bersama, tidak terpisahkan oleh kelulusan atau kesibukan orang dewasa yang membuat mereka lupa.”
  148.  
  149. Suara Gen-tan semakin memelan, seperti lanturan orang yang setengah terlelap.
  150.  
  151. “Gen-kun?”
  152. “Kenapa?”
  153. “Kenapa ya mereka tidak melanjutkan kita…”
  154. “Yah, kita memang lebih sering tidak terpakai, kan? Bahkan aku yakin dulu banyak yang tidak tahu tentang kita.”
  155. “Hmm. Padahal jika mereka terus mengingat kita, kita bisa lebih lama lagi di sini.”
  156. “Kamu suka di sini?”
  157. “Ya. Walau…walau unitnya sudah tidak ada, tapi aku masih suka melihat anggota-anggota muda yang lanjut berkarya setelah lulus. Kau tahu, minggu lalu si Yanna Teresia baru membuka studio komiknya yang keduanya?”
  158. “Aku baru tahu.”
  159. “Dia memang tekun dan berbakat. Sayangnya kita sudah enam tahun? Tujuh tahun? Tidak ada ketika dia masuk. Dia tidak kenal kita, tapi aku kenal dia. Sekarang kamu juga kenal dia.”
  160.  
  161. Rasanya aneh menganggap orang yang tidak pernah ia lihat sebagai kenalan, tapi Gen-kun hanya diam. Matanya terasa begitu berat. Ia juga menyenderkan kepalanya ke kepala Gen-tan dan perlahan memejamkan matanya.
  162.  
  163. “Gen-kun?”
  164. “Hmm?”
  165. “Kamu benar. Kita beruntung ya, Amila masih ingat pada kita. Padahal angkatan dia sudah jauh setelah angkatan terakhir kita. Dia memang dari dulu suka mengobrol dengan senior-senior dan mencari-cari info sendiri.”
  166. “Dia ketua yang baik.”
  167. “Iya. Rasanya baru kemarin dia naik jadi ketua, tiba-tiba dia sudah lulus, lalu bekerja dan punya anak. Dia dari divisimu kan Gen-kun?”
  168. “Ya. Dia masih cosplay beberapa kali setelah lulus, tapi tidak setelah dia menikah. Tapi dia masih suka ke event-event. Anaknya juga sempat jadi cosplayer.”
  169. “Ternyata kamu perhatian juga ya.”
  170. “…belum seperti kamu.”
  171. “Amila…” napas Gen-tan yang sudah samar kini tersengal-sengal, “berjuanglah.”
  172.  
  173. Tangan Gen-kun mempererat dekapannya. Napasnya sendiri juga semakin sulit, dadanya sesak. Ia mengintip sekilas dan betul saja…tubuhnya mulai memudar, warna cokelat gelap dari lantai kayu mulai terlihat melalui kakinya.
  174.  
  175. Ia kembali memejamkan mata.
  176.  
  177. “Gen-kun?”
  178. “Ya, Gen-tan?”
  179. “Apa…apa dia juga sedang memikirkan kita ya.”
  180. “Amila?”
  181. “Iya.”
  182. “Rasanya tidak. Dia sedang berjuang melawan usianya.”
  183. “…”
  184. “Tapi setidaknya dia masih…ingat kita, cukup kan?”
  185. “Iya…”
  186.  
  187. Kesadaran Gen-kun menipis. Ia seperti menjauh dari tubuhnya sendiri. Ia tidak bisa lagi merasakan kokohnya dinding kayu tempat ia bersandar maupun lantai kayu tempat ia duduk. Hanya Gen-tan di sisinya yang terasa nyata.
  188.  
  189. “Gen-kun?”
  190.  
  191. “Ada apa?”
  192.  
  193. “Apa yang lain masih ingat kita…entah di manapun tempat kita nanti?”
  194.  
  195. “…ya. Mereka pasti ingat,” kata Gen-kun, memaksakan setiap huruf. Lidahnya terasa kelu dan berat. “Dan seperti katamu, kita…akan ketemu mereka semua…”
  196.  
  197. “Ah…senangnya."
  198.  
  199. "..."
  200.  
  201. "..."
  202.  
  203. "...Gen-kun? ...masih bangun?"
  204.  
  205. "...ya."
  206.  
  207. "Terima kasih."
  208.  
  209. "Sama-sama."
Advertisement
Add Comment
Please, Sign In to add comment
Advertisement