Advertisement
Guest User

Chuko Jilid 1 Bab 1

a guest
Jul 27th, 2016
2,178
0
Never
Not a member of Pastebin yet? Sign Up, it unlocks many cool features!
text 37.06 KB | None | 0 0
  1. - Bab 1 - Aku Akan Menjadi Gadis Yang Kamu Impikan, Berengsek!
  2.  
  3.  
  4. Karena semalam aku memainkan 'eroge' sampai larut, tidurku jadi enggak cukup, padahal tahu kalau besoknya hari Senin.
  5.  
  6. Meski kemarin aku sempat berada di lokasi terjadinya pemerkosaan yang berujung kegagalan, aku masih bisa pulang dengan selamat dan memainkan 'eroge' seperti biasanya. Yah, walau harus mengganti pemutar DVD komputerku yang rusak terlebih dahulu.
  7.  
  8. Kini komputernya sudah bisa dipakai lagi. Aku menyesal karena marah tanpa alasan yang jelas.
  9.  
  10. Tapi aku harus menyalahkan semua ini pada Fujiaki Shiori, gadis yang sudah ternodai .... Aaargh! Kenapa semuanya jadi begini? Kalau tahu begini, mending aku terlahir jadi pohon atau rumput saja. Kenapa wanita jalang itu harus menghancurkan dunia impianku?
  11.  
  12. "Huaaahh ...."
  13.  
  14. Aku sudah sampai di sekolah. Kukeluarkan buku pelajaran untuk jam pertama.
  15.  
  16. Dan kulihat kegaduhan di sekitar kelas sebelum 'homeroom' dimulai sambil kembali menguap.
  17.  
  18. "Mukamu kelihatan mengantuk begitu, Aramiya."
  19.  
  20. Sapa Tozaki Keita, anak yang duduk di belakangku. Aku menoleh hanya untuk melihat seorang pemuda berpostur rata-rata. Dari segi tampang, dia enggak jauh berbeda dariku, terkecuali bekas jerawat yang ada di hidungnya.
  21.  
  22. "Aku main 'game' semalaman, tahu."
  23.  
  24. "'Game' yang ada tokoh wanita idamanmu itu, ya?"
  25.  
  26. "... enggak usah bahas itu. Maksudku 'game' yang satunya."
  27.  
  28. "Yang satunya?"
  29.  
  30. "Nanti kujelaskan detailnya, sama alasan kenapa 'game' itu ampas. Pelajaran sudah mau dimulai."
  31.  
  32. "Uuugh."
  33.  
  34. Intinya, aku ini seorang 'otaku', dan semua anak di kelas sudah tahu soal itu. Yang mereka tahu, aku hanya menonton 'anime', membaca 'manga' dan sedikit paham mengenai komputer. Tapi soal aku memainkan 'eroge', itu enggak kuceritakan ke siapa-siapa.
  35.  
  36. Yah, enggak tepat rasanya membicarakan soal 'eroge' di dalam kelas saat pelajaran begini. Biar begitu, sekolah negeri seperti SMA Mikage ini adalah sekolah biasa, tanpa ada yang istimewa layaknya sekolah unggulan yang membatasi perilaku nakal maupun hal-hal berbau 18 tahun ke atas.
  37.  
  38. Jadi di sekolah ini kami harus selalu berkelakuan baik. Termasuk aku dan Tozaki paham sekali soal itu.
  39.  
  40. Hal-hal seperti 'eroge' ini harus tetap dirahasiakan dan enggak boleh dibahas terang-terangan.
  41.  
  42. Aku juga enggak tahan kalau ada yang dengan nyaringnya membahas gadis 2D, onani ataupun hal semacamnya. Aku juga enggak mau dianggap sebagai salah satu dari mereka yang dijadikan objek penindasan. Menjadi seorang otaku akan dicap sebagai orang yang mengidap penyakit sehingga enggak boleh ada di dunia ini.
  43.  
  44. "Ya sudah, nanti ceritakan, ya."
  45.  
  46. Seusai berbincang dengannya, bel tanda masuk sekolah pun berbunyi.
  47.  
  48. Tozaki mulai melihat-lihat sekitar kelas.
  49.  
  50. "... hmm, Hatsushiba belum datang, toh. Sayang sekali."
  51.  
  52. "Kayaknya kamu suka sama dia, ya?"
  53.  
  54. Hatsushiba adalah salah satu teman sekelas kami, kalau enggak salah, nama lengkapnya Hatsushiba Yuka. Kalau dikategorikan, dia masuk dalam kategori gadis manis. Tapi itu cuma satu dari sekian alasan kenapa anak ini menyukainya.
  55.  
  56. "Kalau belum mendengar 'Pagi~?' darinya, rasanya hari ini ada yang kurang."
  57.  
  58. Gadis tersebut adalah seorang pengisi suara, namun peran yang didapatnya masih seputar figuran maupun pemeran pembantu saja. Ah, bicara soal itu, dia menjadi pengisi suara pemeran pembantu dalam sebuah 'anime'. Kalau diingat lagi, jenis suaranya seperti yang sering terdengar di berbagai 'eroge'.
  59.  
  60. Karena pekerjaannya itu, dia sering absen sekolah.
  61.  
  62. "Tozaki, mending kamu menyerah saja."
  63.  
  64. "Kamu ini! Aku cuma mau dengar suaranya saja, kok! Cih. Lain kali kalau ketemu dia, aku bakal minta izin buat merekam suaranya."
  65.  
  66. "... hmm, sobat. Enggak masalah kalau kamu suka seseorang dan merahasiakannya. Tapi ...."
  67.  
  68. Meski dia seorang pengisi suara, aku enggak akan kuasa mendengar suara aslinya. Kalau lewat pengisi suara, sih, enggak masalah.
  69.  
  70. Selagi kami berbicara, pintu ruang kelas pun terbuka.
  71.  
  72. Biasanya guru wali kelas kami datang bersamaan dengan terdengarnya bel sekolah. Tapi yang barusan datang ternyata bukanlah seorang guru.
  73.  
  74. Rupanya yang datang adalah seorang gadis berambut panjang yang dicat coklat dengan pandangan menusuk yang mampu mengintimidasi orang-orang. Biarpun begitu, paras yang dimilikinya masih tergolong cantik, meski hal itu enggak perlu dijelaskan.
  75.  
  76. (http://goo.gl/v8ugI2)
  77.  
  78. Kulirik sebentar dirinya tanpa melihat ke arah matanya sambil menjauhkan wajahku.
  79.  
  80. Kupraktikan hal yang biasa kulakukan, berusaha menghindari masalah secara langsung.
  81.  
  82. Gadis ini terkenal berandal di ke— bukan, tapi di seluruh sekolah.
  83.  
  84. Gadis yang bisa membuat anak-anak menjerit dan menangis, dialah Ayame Kotoko.
  85.  
  86. Dengan semua penjelasan itu, gadis tersebut berjalan masuk ke tengah kelas sambil memanggul tasnya.
  87.  
  88. Dia lalu berjalan melewati meja— eh, dia tiba-tiba berhenti di depan mejaku kemudian menatapku.
  89.  
  90. Hal itu langsung menciptakan kecanggungan di dalam kelas. Orang-orang di sekitarku pun memberi pandangan iba, seolah berkata, 'Apes kamu!'Apa-apaan itu?! Aku ini belum diapa-apakan, tahu?!
  91.  
  92. ... tapi kenapa harus di depanku?! Dia mau apa dariku?!
  93.  
  94. "He ... hei ...."
  95.  
  96. Dia bicara sambil terbata, wajahnya sedikit memerah. Dan dia memang bicara padaku.
  97.  
  98. Seisi kelas pun terguncang.
  99.  
  100. "... kalian lihat apa? Siapa yang bolehkan kalian lihat-lihat?!"
  101.  
  102. Tapi ketika dia memelototkan matanya, seluruh penghuni kelas langsung hening.
  103.  
  104. Dia lalu menuju kursinya dan duduk dengan wajah marah.
  105.  
  106. "Hei, kawan. Kamu cari gara-gara apa ke dia?"
  107.  
  108. Tozaki bertanya dengan nada kebingungan.
  109.  
  110. "Eng-enggak ada! Aku enggak melakukan apa-apa!"
  111.  
  112. Meski baru di kelas dua ini aku sekelas dengannya, aku enggak pernah sekali pun cari masalah sama dia.
  113.  
  114. Legenda mengenai dirinya sudah menyebar sampai ke kelas lain. Jadi jika aku macam-macam padanya, maka itu hal yang mustahil. Dekat-dekat dia saja aku enggak berani.
  115.  
  116. Terus kenapa dia .... Eh, tunggu!
  117.  
  118. Kalau enggak salah ingat, dia mirip dengan gadis yang hampir diperkosa kemarin. Suaranya juga agak-agak mirip .... Tapi enggak mungkin, ah. Pasti itu orang lain yang kebetulan mirip.
  119.  
  120. Kalau pun itu dia, tetap saja aku enggak punya masalah apa pun padanya.
  121.  
  122. Perasaanku jadi enggak enak, makanya aku menoleh— ke Ayame.
  123.  
  124. Sembari mengira-ngira, aku enggak tahu kenapa tadi dia menatapku. Bisa kurasakan bulu kudukku merinding.
  125.  
  126. "Wah, kamu apes banget, sampai diincar sama gadis preman itu."
  127.  
  128. Jangan berbisik mengasihaniku, berengsek!
  129.  
  130. "Dia sering buat onar, lo."
  131.  
  132. Dia tetap lanjut berbicara. Aku sudah tahu dan paham kalau ini situasi yang sulit. Aku juga mengiyakan hal tersebut.
  133.  
  134. Dari yang kudengar, tindakan dan perilaku yang dimiliki gadis itu memang cukup meresahkan.
  135.  
  136. "Sering berkelahi, bolos pelajaran dan berbuat semaunya dia."
  137.  
  138. Sebenarnya aku enggak pernah melihat dirinya terlibat perkelahian. Kalau bolos pelajaran, sih, iya.
  139.  
  140. Tapi dari yang kulihat kemarin, rasanya pas saja jika diperhatikan dari kelakuannya waktu itu.
  141.  
  142. Meski ujung-ujungnya dia dikepung, sih. Tapi dia masih bisa melawan. Kalau itu aku, mungkin hanya bisa pasrah saja.
  143.  
  144. Yang bisa kulakukan hanya memohon sambil berlutut dengan menyodorkan sejumlah uang. Asal masalahnya kelar, biar berapa pun uang yang kukeluarkan, itu tetap sepadan. Walau diam-diam kufoto mereka, lalu melaporkannya pada polisi sehingga uangku tadi bisa kembali.
  145.  
  146. "Mungkin kamu belum tahu soal ini, tapi kudengar dia punya pekerjaan sampingan, lo. Kayak temannya temanku pernah bilang, dia sempat jual diri demi tiga ribu yen."
  147.  
  148. 'Temannya temanku'? Apa itu seperti legenda urban? Tapi kalau rumor tersebut benar, itu bukan hal yang mengejutkan. Soalnya lihat saja, rambutnya dicat coklat, bagian atas seragam sekolahnya enggak dikancing, dasinya enggak dipakai, lengan blusnya digulung ke atas. Jika sang perancang seragam tersebut sampai melihatnya, beliau pasti akan menyumpah. Aksesorisnya ada di mana-mana, sehingga sudah enggak lagi kelihatan seperti murid sekolah pada umumnya. Ditambah, roknya dia panjangkan sampai ke bawah lutut dengan dihiasi rantai perak di sampingnya.
  149.  
  150. "Jual diri demi tiga ribu yen .... Malah sayang duitnya ...."
  151.  
  152. Aku benar-benar merasa begitu. Dengan uang sebanyak itu aku bisa membeli tiga sampai empat buah 'eroge'.
  153.  
  154. Tapi mengeluarkan tiga ribu yen untuk gadis seperti Ayame .... Wajahnya, sih, lumayan, proporsi tubuhnya juga— payudaranya cukup besar, walau memakai seragam tapi masih kelihatan besar. Jenjang kakinya juga seperti seorang model .... Tapi karena dia gadis 3D ....
  155.  
  156. "Aramiya, cara pikirmu itu ..., terserahlah. Lagi pula dia sudah dijuluki 'bekas orang'"
  157.  
  158. "Julukan seperti itu benar-benar ada?"
  159.  
  160. "Dia sudah dijuluki begitu semenjak SD. Cih. Tetap saja dia beda level sama Hatsushiba."
  161.  
  162. "Aku enggak tahu alasanmu membandingkannya dengan dia, tapi ... kenapa Ayame dulu mau-maunya kerja begitu, ya? Terus, kamu tahu soal itu dari mana?"
  163.  
  164. "Yah, soalnya dulu aku satu SD sama dia."
  165.  
  166. Serius?! Terserahlah, meskipun sewaktu SD, segalanya bisa cepat menyebar.
  167.  
  168. Hahahahahahaha! Bodoh apa? Siapa juga yang peduli sama—
  169.  
  170. ... ah, setop. Aku jadi teringat kembali tentang hal-hal buruk yang dulu terjadi. Aku harus berhenti melanjutkannya.
  171.  
  172. "Biar begitu, tiga ribu yen demi bekas orang tetap saja enggak masuk akal ...."
  173.  
  174. Ketika aku mengatakannya, bel berbunyi dan kami berhenti mengobrol. Ohara-sensei lalu masuk ke dalam kelas.
  175.  
  176. "Siap untuk 'homeroom', Anak-Anak?
  177.  
  178. Dan 'homeroom' pun dimulai dengan suara menggemaskan yang kayaknya enggak cocok untuk seorang guru berumur dua puluh tahun.
  179.  
  180.  
  181. Seusai pelajaran keempat yang kupilih sebagai pelajaran musik, aku pun kembali ke kelas. Rencananya aku akan makan siang dengan Tozaki seperti biasa, tapi saat ini dia enggak ada di kelas.
  182.  
  183. "Maksudmu dia? Tadi dia dibawa pergi sama Ayame."
  184.  
  185. Begitu kata teman sekelasku. Namun yang dikatakannya cukup aneh, aku masih enggak paham.
  186.  
  187. "Dibawa pergi .... Memangnya dia salah apa?"
  188.  
  189. "Entahlah. Sewaktu kembali dari pelajaran seni rupa, tiba-tiba dia dibawa pergi."
  190.  
  191. "Apa? Kalau begitu aku harus menemukan jenazahnya, nih .... Kamu tahu dia pergi ke mana?"
  192.  
  193. "Oi, dia itu belum mati. Aku enggak tahu pastinya, tapi yang jelas, mereka pergi ke arah yang berlawanan dari kelas."
  194.  
  195. "Oh, terima kasih infonya. Biarpun begitu, jasa-jasa beliau pasti akan selalu kita kenang."
  196.  
  197. Firasatku mengatakan kalau dia enggak sedang disekap. Atau mungkin ... gadis itu mendengar percakapan kami sebelum 'homeroom' tadi, ya?
  198.  
  199. Enggak, pembicaraan kami saja enggak sampai terdengar ke kursi sebelah. Mana mungkin dia mendengarnya.
  200.  
  201. Dicegat terus dipukuli tanpa sebab, kurasa enggak .... Semoga saja begitu.
  202.  
  203. Dan hingga jam istirahat berakhir, Tozaki akhirnya kembali.
  204.  
  205. Dia tampak kelelahan, tapi enggak ada luka yang terlihat. Aku sedikit merasa lega.
  206.  
  207. "Oi, kudengar kamu tadi dibawa pergi. Kamu enggak kenapa-kenapa, 'kan?"
  208.  
  209. "Oh, untungnya tubuhku masih utuh."
  210.  
  211. Dia mengatakan hal yang aneh sambil melihatku dengan pandangan kesal. Ada apa memangnya?
  212.  
  213. "Hah? Kamu bicara apa tadi? Aku enggak paham."
  214.  
  215. "Sama, aku juga. Pokoknya nanti kamu tahu sendiri, deh. Yang penting, setelah ini akan ada persembahan yang kukirim ke hadapanmu."
  216.  
  217. Rasanya aku enggak tahu mana yang nyata dan mana yang bukan sekarang.
  218.  
  219. "Jangan-jangan omongan kita yang tadi itu kedengaran, ya?"
  220.  
  221. "Enggak mungkin, lah! Aku enggak tahu nanti bakal jadi bagaimana, pokoknya jangan dendam ke aku lo, ya."
  222.  
  223. Ujung-ujungnya aku masih enggak paham.
  224.  
  225. Selepas siang ini kurasa Ayame membolos pelajaran, makanya aku enggak melihat keberadaannya sampai sepulang sekolah.
  226.  
  227.  
  228. ???
  229.  
  230.  
  231. Keesokan paginya, aku masuk sekolah seperti biasa. Aku duduk dan mengambil buku pelajaranku.
  232.  
  233. Kulakukan hal yang biasanya juga dilakukan teman-teman sekelasku, seperti mengobrol bareng teman atau membaca buku sebelum pelajaran dimulai.
  234.  
  235. Belakangan ini sering turun hujan, tapi hari ini cuaca tampak cerah.
  236.  
  237. Kemudian, pintu kelas pun dibuka seseorang.
  238.  
  239. *Braak!
  240.  
  241. Bukan berarti aku peduli akan hal itu.
  242.  
  243. "Eh?" "Apa?" "Itu— apa mataku ini sedang memperdayaiku?" "Ini pasti bercanda."
  244.  
  245. Tapi ketika seisi kelas tercengang seolah habis melihat monster masuk ke dalam kelas, aku pun kalah oleh rasa penasaran ini, hingga perhatianku tertuju pada pintu yang terbuka itu.
  246.  
  247. "Hah?"
  248.  
  249. Aku mengeluarkan suara aneh. Di saat yang sama aku enggak tahu itu siapa.
  250.  
  251. Tapi ketika kufokuskan pandanganku, aku seperti mengenalnya.
  252.  
  253. Sepasang mata itu, wajah itu. Ada beberapa bagian yang enggak berubah. Ditambah, cara memanggul tasnya yang khas itu ....
  254.  
  255. Enggak salah lagi. Itu Ayame.
  256.  
  257. Namun bedanya, dia telah mengubah gaya rambutnya, menghitamkannya dan mengembalikan model seragamnya sesuai model aslinya, tanpa tambahan rantai.
  258.  
  259. "Kucir dua?"
  260.  
  261. Kuucapkan itu tanpa memperhatikan keadaan.
  262.  
  263. Seperti yang kubilang, dia mengubah gaya rambut terurainya menjadi kuciran di kiri dan kanan yang diikat pita merah — kucir dua yang sering terlihat dalam 'anime' dan 'manga'.
  264.  
  265. Dan rambut coklatnya kini menjadi hitam pekat.
  266.  
  267. Jika diperhatikan baik-baik, dia enggak memakai anting-anting lagi.
  268.  
  269. Perubahan penampilannya ikut mengubah suasana di kelas menjadi canggung.
  270.  
  271. ....
  272.  
  273. Tatapan matanya menyilaukan seluruh penghuni kelas. Ekspresi wajahnya seolah berkata, 'Jangan lihat aku'.
  274.  
  275. ... saat menyaksikan hal ini, aku yakin kalau itu betul Ayame.
  276.  
  277. Semuanya langsung mengalihkan pandangan dan bersikap seolah enggak ada apa-apa. Dengan kakunya anak-anak di kelas pura-pura mengobrol seperti, "Hari ini cuacanya bagus, ya?" Sementara sisanya ada yang bolak-balik membuka lembar buku pelajarannya. Tampak seisi kelas bingung mau berbuat apa.
  278.  
  279. "O ... oi! Aramiya!"
  280.  
  281. Tozaki menarik dan membalikkan badanku.
  282.  
  283. ... sepertinya aku ketularan bingung, sampai lupa membalikkan badan.
  284.  
  285. Dia mendominasi semua penghuni kelas hanya dengan tatapannya. Dan setelahnya, dia pun masuk ke dalam kelas.
  286.  
  287. Sampai akhirnya dia berhenti di depan mejaku dan memandangiku seperti kemarin.
  288.  
  289. Ke ... kenapa lagi?!
  290.  
  291. "Ha ... hai ...."
  292.  
  293. sepatah kata itu keluar begitu saja hingga otakku belum sempat mencernanya. Dia menyapaku. Aku pasti sudah salah mengerti. Kutengadahkan pandanganku, dan ternyata dia memang bicara kepadaku.
  294.  
  295. "Ah .... Se ... selamat pagi."
  296.  
  297. Aku menjawab dengan nada sesopan mungkin. Normalnya, ketika ada yang menyapa, kita pun harus menyapa balik. Dan pada situasi semacam ini, kalau kita mengabaikan dirinya, maka posisi kita sudah selangkah lagi dekat dengan alam ba— bukan, tapi separuh diri kita sudah ada di alam baka.
  298.  
  299. Meski begitu, wajahnya menampakkan keraguan.
  300.  
  301. Aku harus bersikap seperti apa?! Apa yang sebenarnya terjadi, sih?!
  302.  
  303. "Bu ... bu ... bukan berarti aku sula sama kamu, dasar bodong!"
  304.  
  305. Dia benar-benar bicara begitu padaku. Aku enggak paham, benar-benar enggak paham. Lagi pula, apa lidahnya terbelit waktu dia bicara tadi?!
  306.  
  307. Dia langsung cepat-cepat ke kursinya kemudian duduk tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab.
  308.  
  309. Teman-teman sekelasku yang lain berlagak seakan mereka enggak mendengar apa-apa.
  310.  
  311. Pada akhirnya, aku masih dalam kebingungan.
  312.  
  313. Tozaki menatapku seolah berkata, 'Jawab saja,' dan aku balas menatap, 'Kamu gila, ya?!'.
  314.  
  315. Kini seisi kelas menjadi hening hingga suara dari kelas sebelah pun terdengar. Semuanya berlagak tenang yang justru makin membuat suasana terasa aneh.
  316.  
  317. "Oi, Tozaki."
  318.  
  319. Aku memelankan suaraku hingga hanya bisa didengar oleh kami berdua saja. Di situasi seperti ini, hanya anak inilah yang tahu kenapa semua jadi begini.
  320.  
  321. "A ... ada apa?"
  322.  
  323. Dia berusaha memalingkan pandangannya. Walau dia ingin menutupinya, wajahnya jelas terlihat ragu-ragu seperti ingin menyampaikan, 'Bagaimana menjelaskannya ke kamu, ya ...?'.
  324.  
  325. "Apa saja ... yang kamu ... katakan ... ke Ayame?"
  326.  
  327. "A ... aku enggak mengatakan apa-apa."
  328.  
  329. "Kalau memang enggak, terus kenapa kemarin kamu ada bilang, 'Jangan dendam ke aku lo, ya,' atau 'Ada persembahan yang kukirim ke hadapanmu,' hah?"
  330.  
  331. Kini wajahnya seakan berkata, 'Aku enggak bisa menutupinya lagi,' dilanjutkan desahan panjang lalu dia mulai berbicara.
  332.  
  333. "Kemarin aku dibawa pergi lalu ditanya-tanyai soal apa kesukaanmu, gaya rambut kesenanganmu atau hobi yang kamu gandrungi."
  334.  
  335. "Ke ... kenapa dia tanya-tanya itu? Ah, itu nanti saja, terus kamu jawab apa?"
  336.  
  337. "Kujawab saja kalau kamu suka kucir dua, nonton 'anime' dan main 'game' .... Tepatnya, game 18 tahun ke atas."
  338.  
  339. "Hah?!"
  340.  
  341. Aku hampir berteriak, tapi untungnya aku bisa kembali memelankan suaraku.
  342.  
  343. "Bego! Kenapa malah diberi tahu?!"
  344.  
  345. "Terus aku harus bagaimana?! Kalau aku enggak jujur aku bisa mati!"
  346.  
  347. "Jujur juga enggak sebegitunya, 'kali! Memangnya kamu enggak pernah dengar pepatah, 'Terlalu jujur nanti hidupmu bakal susah'?!
  348.  
  349. "Tapi kalau aku enggak jujur, hidupku yang bakal susah!"
  350.  
  351. Apa dia sedang berusaha membuat pepatah tandingan? Enggak, sama sekali enggak pas!
  352.  
  353. "Biar kujelaskan! Aku enggak begitu mengerti apa yang terjadi kemarin! Termasuk ditanya-tanyai soal dirimu! Yang pasti, kurasa aku mungkin bakal tahu tentang yang sudah kamu lakukan padanya!"
  354.  
  355. Yah, itu masuk akal, sih. Kalau aku yang dibawa pergi oleh gadis itu, terus dipelototi sambil ditanya, 'Beri tahu aku semuanya tentang Tozaki, dan awas kalau bohong!' mungkin aku bakal melakukan hal sama.
  356.  
  357. Makanya Tozaki enggak bisa disalahkan di sini .... Tapi tetap saja aku jengkel.
  358.  
  359. "Jadi, ini soal apa? Soalnya kemarin kamu enggak ada cerita apa-apa, sih."
  360.  
  361. "Aku enggak begitu ingat."
  362.  
  363. Ada hubungan apa aku sama Ayame? Tunggu, jangan-jangan ... gadis yang mau diperkosa hari Minggu kemarin itu memang dia, ya?
  364.  
  365. Aku mengira-ngira apa itu benar. Tapi waktu itu aku enggak melihat jelas wajahnya.
  366.  
  367. "Kamu benar-benar enggak ingat?"
  368.  
  369. "Mungkin sedikit, tapi aku enggak begitu yakin. Aku memang enggak punya bukti tapi aku enggak melakukan apa-apa yang bisa membuatnya dendam padaku, kok."
  370.  
  371. "Cuma itu? Berarti aku memang bakal ketularan apes kalau dekat kamu?"
  372.  
  373. "Sumpah demi dewa 'eroge', aku memang enggak yakin."
  374.  
  375. "Dewa 'eroge'? Maksudmu Eros*? Setop, bukan itu masalahnya." (*dewa cinta)
  376.  
  377. Dia masih saja bisa bercanda di situasi begini.
  378.  
  379. "Kalau kamu bilang begitu, yah, mungkin kamu benar."
  380.  
  381. "Ya, 'kan? Ya, 'kan?"
  382.  
  383. Merupakan hal yang baik jika ada orang yang seiya sekata denganmu.
  384.  
  385. "Aramiya, Tozaki, kapan kalian mau berhenti bisik-bisik?"
  386.  
  387. Aku terkejut dan melihat ke sumber suara yang ternyata adalah Ohara-sensei. Beliau sudah berdiri di podium yang berada di depan papan tulis dengan ekspresi terganggu. Apa aku terlalu asyik mengobrol sampai-sampai enggak mendengar bel masuk dan melihat kehadiran guru.
  388.  
  389. "Maaf ...." "Maaf ...."
  390.  
  391. Aku dan Tozaki memohon maaf yang lalu dibalas beliau, "Bagus," sambil tersenyum.
  392.  
  393. Sebelum membacakan absensi kelas, beliau terlebih dulu memeriksa keadaan murid-muridnya.
  394.  
  395. "Wah, Ayame. Rupanya kamu menghitamkan kembali rambutmu, ya? Senang melihatnya."
  396.  
  397. "Hah? Ini bukan buat situ."
  398.  
  399. "Oh, maaf!"
  400.  
  401. Beliau langsung terperanjat. Yah, beliau cuma seorang guru. Seorang guru yang begitu muda dan harus menghadapi murid seperti Ayame — mungkin beliau dipaksa melakukannya — aku jadi kasihan.
  402.  
  403. "Ba ... ba ... baiklah, ki ... kita mulai 'homeroom'-nya."
  404.  
  405. 'Homeroom' pun dimulai dengan suara yang terbata-bata.
  406.  
  407.  
  408. Selama pelajaran berlangsung, suasana aneh itu masih terasa, dan mulai berangsur hilang hingga jam istirahat siang.
  409.  
  410. Meski semua anak di kelas sudah mulai lupa soal tadi, aku masih enggak merasa kalau yang kudengar itu adalah halusinasiku saja. Ayame tadi berkata seperti, "Bu ... bu ... bukan berarti aku suka sama kamu, dasar bodoh!" rasanya seperti tokoh 'tsundere' yang dibuat-buat.
  411.  
  412. Satu istilah, 'tsundere', yang kini punya banyak makna dan tergantung seperti apa orang memaknainya. Sudah lama istilah itu enggak kudengar, hingga perlahan istilah tersebut berubah menjadi sesuatu yang orisinil.
  413.  
  414. Tapi kurasa Ayame tadi menirukan ucapan seorang 'tsundere'. Padahal dia bukan orang di kalangan 'otaku' dan mungkin hanya menebak-nebak seperti apa 'tsundere' itu kemudian menirukannya. Sayangnya, sewaktu bicara tadi lidahnya terbelit, makanya dia enggak bisa menirukannya dengan sempurna.
  415.  
  416. Terserahlah, setiap orang punya pemaknaannya sendiri. Jadi terserah orang lain mau seperti apa menanggapinya.
  417.  
  418. "Tozaki, cari makanan, yuk."
  419.  
  420. "Ah, oke. Semua pembicaraan tadi bikin perutku lapar. Hari ini menunya apa, ya?"
  421.  
  422. Biasanya kami berdua makan siang di kantin. Soal rasa, makanan di kantin, sih, biasa-biasa saja, tapi karena di sana murah, jadi kami maklum saja.
  423.  
  424. Lagi pula, sejak aku mulai bekerja paruh waktu, orang tuaku enggak lagi memberikanku uang saku. Jadi, asal enggak bikin sakit perut, beli yang murah saja. Kalau enggak begitu, siang nanti aku enggak bakal kuat belajar.
  425.  
  426. "Jadi, mau makan apa, nih? Ayo putuskan, nanti keburu—"
  427.  
  428. "He ... hei."
  429.  
  430. Tepat saat kami hendak pergi, kudengar suara tertahan dari belakang.
  431.  
  432. Dan suasana aneh itu pun kembali melanda.
  433.  
  434. Sekeliling kami perlahan mulai meredam suaranya.
  435.  
  436. Seperti halnya dalam 'game', suara musik latar memelan ketika terjadi sebuah pembicaraan.
  437.  
  438. Aku dan Tozaki pelan-pelan membalikkan badan.
  439.  
  440. Dan di sana ada Ayame.
  441.  
  442. Aku yakin itu dia, aku kenal suaranya.
  443.  
  444. Namun ketika mengubah gaya rambutnya menjadi kucir dua, dirinya juga banyak berubah, meskipun aku lebih memilih jika rambut hitamnya itu digerai.
  445.  
  446. ... tunggu, kenapa aku malah memikirkan gadis 3D? Lagi pula, dia itu bekas orang.
  447.  
  448. Kini aku harus menghindar dari gadis yang tampaknya sedang berusaha menyelidiki dan mengejarku ini. Dalam 'game' aku diajari agar memperhatikan ucapan maupun kelakuan dari seseorang. Ditambah, aku harus waspada akan segala hal, meski itu detail yang kecil.
  449.  
  450. "Hari ini kamu mau makan di kantin, ya?"
  451.  
  452. "Eh? Maksudmu aku?"
  453.  
  454. "Bukan kamu, Tozaki. Menyingkir sana."
  455.  
  456. "Sudah kuduga .... Ya sudah, aku duluan."
  457.  
  458. Dia pun langsung pergi seolah sudah menyiapkannya.
  459.  
  460. Dasar Tozaki, kenapa wajahnya seolah berkata, 'Sukses, ya, sobat!' kepadaku?! Aaargh, bisa-bisanya dia selamat?!
  461.  
  462. Kubalas dia dengan tatapan, 'Sukses gundulmu!' yang entah dia mengerti apa enggak.
  463.  
  464. Perlahan aku menoleh ke Ayame layaknya robot yang hampir rusak. Kulihat wajahnya sudah merengut, bukan karena marah atau apa, tapi lebih seperti sedang gugup.
  465.  
  466. "Maksudmu aku?"
  467.  
  468. Aku takut-takut bertanya, yang kemudian dia balas dengan anggukan.
  469.  
  470. "Kamu jadi ke kantin atau enggak?"
  471.  
  472. "Ja ... jadi, Mbak ...."
  473.  
  474. Enggak sengaja kutanggapi dirinya dengan sopan, padahal dia teman sekelasku. Mau bagaimana lagi? Aku ketakutan.
  475.  
  476. Aku takut siapa tahu tinjunya bakal melayang ke arahku. Setiap pergerakan dan tindakannya tampak seperti kuda-kuda yang akan melancarkan serangan. Bahkan tatapan matanya seolah menyiratkan, 'Aku siap bertarung kapan pun denganmu'.
  477.  
  478. Aku bagaikan pemburu yang kehilangan senapannya di tengah alam liar dan ada hewan buas di depanku.
  479.  
  480. "Ka ... kalau begitu, ni ... nih!"
  481.  
  482. Ucap Ayame sembari mengeluarkan tin— eh, tas bungkusan dari kain?
  483.  
  484. Besarnya bungkusan itu cukup pas untuk diisi kotak bekal .... Eh, kotak bekal?
  485.  
  486. "I ... itu ... kotak bekal?"
  487.  
  488. "A ... ah, eng ..., iya. Aku ya ... yang buat."
  489.  
  490. Dibuatkan bekal oleh seorang gadis merupakan hal yang diimpikan hampir setiap anak lelaki.
  491.  
  492. Bukannya senang, aku justru merasa ragu sekaligus takut.
  493.  
  494. Karena aku enggak tahu alasan dia membuat dan memberikannya padaku!
  495.  
  496. Sebentar .... Bagaimana jika gadis yang kuselamatkan hari Minggu kemarin benar Ayame.
  497.  
  498. Meskipun aku yang membantunya lolos dari kejadian waktu itu, tapi sebenarnya aku enggak sengaja menolongnya. Aku tiba-tiba terlibat dalam situasi berbahaya, makanya kuputuskan untuk berbuat sesuatu.
  499.  
  500. Di dunia nyata, hal semacam 'flag' yang bisa mengubah situasi itu enggak ada. Situasi semacam 'kita menjatuhkan sapu tangan lalu ada seorang gadis yang mengambil dan mengembalikannya pada kita' atau 'teman sedari kecil' atau bahkan 'adik perempuan yang mengagumi kakak laki-lakinya', itu ... semua ... mustahil! Yang ada justru adik perempuanku melaporkanku pada guru kalau aku enggak bisa bangun pagi.
  501.  
  502. Itu sebabnya, menyelamatkan seorang gadis enggak akan memberi 'flag' apa pun pada kita! Bukan, orang sepertiku sampai melakukan hal seperti itu yang sungguh enggak ada gunanya!
  503.  
  504. "Bu ... buatku? Kenapa?"
  505.  
  506. "Su ... sudah, terima saja! Mau atau enggak?!"
  507.  
  508. Tolong arahkan aku ke halaman wiki yang punya petunjuk main untuk 'game' ini.
  509.  
  510. [Tolak] >> [Mati]
  511.  
  512. Aku sudah menerawang ke masa depan dan tahu apa yang terjadi jika menolaknya. Aku sadar kalau itu cuma imajinasiku saja, tapi ....
  513.  
  514. Saat ini hanya tersisa pilihan [Terima] yang jika dipilih akan memunculkan tiga pilihan lagi, [Telan], [Kunyah saja], [Buang]. Tapi tetap saja ujung-ujungnya harus memilih satu.
  515.  
  516. "Ba ... baiklah, a ... aku terima, ya?"
  517.  
  518. "Ah ..., Te ... terima kasih."
  519.  
  520. Kuterima bungkusan kain berwarna hijau muda itu darinya, yang ternyata cukup berat.
  521.  
  522. "Se ... sela ...."
  523.  
  524. Dia bergumam seakan ingin mengatakan sesuatu.
  525.  
  526. "Eng ... enggak jadi!"
  527.  
  528. Ucapnya sebelum berlari pergi.
  529.  
  530. Aku masih berdiri di sini, di tengah tatapan tajam teman-teman sekelasku yang terasa begitu menusuk.
  531.  
  532. Yang benar saja, haruskah ini kubuang?
  533.  
  534. Tapi makanan ini enggak salah apa-apa. Haruskah aku berbuat jahat untuk membela diri? Yah, bisa jadi.
  535.  
  536. "Dia ini sebenarnya mau apa, sih?"
  537.  
  538. Aku jadi bicara sendiri. Suaraku pun hilang bersama angin.
  539.  
  540. Aku lalu pergi sambil membawa bungkusan kain itu ke suatu pojok di luar gedung sekolah. Soalnya kalau sampai ada yang lihat, mereka pasti bakal bertanya macam-macam. Yah, yang penting ini masih awal musim semi, udara di luar lumayan segar. Apalagi kalau dibawa makan siang di luar, sesuatu banget. Aku bisa menghabiskan bekal ini tanpa khawatir ada yang melihat.
  541.  
  542. "Coba lihat dulu isinya ...."
  543.  
  544. Sambil menduduki rumput, kubuka bungkusan itu dan terlihatlah kotak bekal dua lapis.
  545.  
  546. Kubuka tutupnya. Beraneka lauk terjajar rapi. Ada dadar gulung, sosis, perkedel daging, salad kentang, bahkan sayur rebung.
  547.  
  548. "Wah, kelihatannya enak."
  549.  
  550. Aku langsung memujinya tanpa sadar.
  551.  
  552. Bahkan setelah kubuka lapis pertamanya, nasi yang dibumbui tersaji memenuhi lapis kedua.
  553.  
  554. Ini kayaknya enak juga, mungkin orang tuanya yang buat? Eh ..., tapi tunggu.
  555.  
  556. 'A ... ah, eng ..., iya. Aku ya ... yang buat.'
  557.  
  558. Dia yang buat? Dia yang masak? Ayame? Semua makanan ini?
  559.  
  560. "A ... aku benar-benar enggak paham."
  561.  
  562. Walau dadar gulung ini sengaja dibuat agak gosong supaya terasa renyah, tapi warna kuning keemasannya sungguh sedap dipandang.
  563.  
  564. "Cicipi dulu 'kali, ya? Semoga saja enggak dicampur racun."
  565.  
  566. Kuambil sumpit yang juga sudah disediakan berbarengan kotak bekal itu.
  567.  
  568. "Ma ... mari makan ...."
  569.  
  570. Kuangkat satu dadar gulungnya, kumakan segigitan kecil dengan perasaan cemas mengenai seperti apa rasanya.
  571.  
  572. "Eh?"
  573.  
  574. Bahkan walau cuma segigitan kecil, rasanya sungguh enak dan ternyata enggak ada racun apa pun di dalamnya. Secara keseluruhan, dadar gulungnya lezat! Bahkan lebih enak dibanding buatan ibuku.
  575.  
  576. Kemudian aku beralih ke masakan selanjutnya, dan ternyata kesemuanya enak. Enggak ada hal baru atau ciri khas khusus di masakannya, cuma masakan biasa dengan rasa yang menggugah selera. Terutama sayur rebungnya, rasanya sangat-sangat enak. Komposisi bumbunya pas, sesuai dengan seleraku. Ada sedikit rasa kaldu ikan dan 'mirin'* dalam kecapnya. Semuanya sangat pas dan rasa dari rebungnya 'pecah' di mulut. (*bumbu masak asal Jepang yang merupakan campuran dari gula dan alkohol)
  577.  
  578. Setelah lima menit semuanya ludes enggak bersisa.
  579.  
  580. ... biar kotaknya kucuci dulu sebelum kukembalikan.
  581.  
  582. Sewaktu kembali ke kelas, aku bertemu gadis itu di depan pintu kelas.
  583.  
  584. "Ha ... hai ...."
  585.  
  586. Dia takut-takut menyapa.
  587.  
  588. "O ... oh, terima kasih buat bekalnya. Enak, lo."
  589.  
  590. Saat aku mengatakannya, dia tampak terkejut.
  591.  
  592. "Su ... sungguh? Te ... terima kasih pujiannya .... Kamu paling suka yang mana?"
  593.  
  594. "Sayur rebungnya."
  595.  
  596. "I ... itu masakan andalanku. Syukurlah ...."
  597.  
  598. Dia lalu menghela napas. Apa dia benar-benar membuatkannya untukku?
  599.  
  600. "Ka ... kamu memberiku bekal makan siangmu, memangnya enggak apa-apa?"
  601.  
  602. "Ah, eng, jangan khawatir. Aku juga buat lagi satu."
  603.  
  604. Jadi dia buat dua ...? Tahan ..., jangan berpikir lebih dari ini.
  605.  
  606. "Kalau begitu biar kucuci dulu sebelum kukembalikan ...."
  607.  
  608. "Ja ... jangan! Enggak usah!"
  609.  
  610. Dia langsung merebut pembungkus kain itu dariku.
  611.  
  612. "Ya ... ya sudah, sampai ketemu lagi!"
  613.  
  614. Ucapnya sebelum kembali berlari menjauh.
  615.  
  616. Padahal kelasnya bukan ke arah sana. Apa mungkin dia mau membolos?
  617.  
  618. ... ternyata benar bolos.
  619.  
  620.  
  621. Jam pelajaran selepas siang pun berakhir dengan lancar.
  622.  
  623. Waktu sekolah sudah usai. Entah mungkin karena enggak adanya gadis itu, tapi suasana dalam kelas tadi menjadi normal. Semua anak masih memandangku dengan rasa kasihan serta penasaran, aku jadi enggak bisa duduk tenang.
  624.  
  625. "Bagi yang tidak punya kegiatan ekskul sepulang sekolah, segeralah pulang, jangan berkeliaran. Baiklah, kalau begitu sampai jumpa besok!"
  626.  
  627. Sepulang sekolah anak-anak mulai berpencar, ada yang ke tempat ekskul masing-masing, pulang ke rumah, mengerjakan tugas piket ataupun rapat OSIS.
  628.  
  629. Hari ini aku enggak ada pekerjaan paruh waktu, jadi pilihannya adalah pergi ke ruang ekskul — tepatnya Ekskul Game — atau langsung pulang ke rumah. Tapi karena aku belum menamatkan 'game' yang kemarin, mending pulang saja, deh.
  630.  
  631. "Aku pulang duluan, ya."
  632.  
  633. "Oh, sampai ketemu besok, ya."
  634.  
  635. Kuucapkan salam perpisahan sebelum mengemas barangku dan pulang.
  636.  
  637. Namun ketika aku sudah hendak di depan pintu— aku bertemu gadis itu lagi.
  638.  
  639. "He ... hei, Aramiya."
  640.  
  641. Aku lagi?! Mau berapa kali— bukan, dia masih di sekolah?!
  642.  
  643. ... tapi tunggu, kalau diperhatikan lagi, tasnya memang masih ada di mejanya, sih ....
  644.  
  645. Enggak, enggak, enggak, lupakan itu dulu! Apa sebenarnya yang dia mau dariku? Wahai indera keenamku, tolong aku dari bahaya yang akan datang ini.
  646.  
  647. "A ... apa yang sebenarnya kamu mau dariku?"
  648.  
  649. Aku mengatakannya kembali sesopan mungkin.
  650.  
  651. "I ... ikut aku sebentar!"
  652.  
  653. Dia lalu menarik tanganku. Wah!
  654.  
  655. Dengan kuat dicengkeramnya tanganku hingga enggak mampu aku mengelak.
  656.  
  657. Para murid yang sebelumnya hendak akan pulang mulai melihat ke arah kami, namun gadis ini memelototi balik sambil berseru, "Ada apa?!" Mereka langsung memalingkan pandangan dan menyingkir untuk memberi jalan. Memangnya dia Nabi Musa?
  658.  
  659. Banyak patung dari tokoh-tokoh pahlawan yang berdiri di depan tembok.
  660.  
  661. ... tapi tetap saja enggak ada pahlawan yang akan menolongku. Kejamnya dunia.
  662.  
  663. Tapi aku sudah memprediksi hal ini. Andaikan bukan aku yang jadi targetnya, aku akan berbuat sama.
  664.  
  665. Kalau aku melawan, bakal ada tinju yang bersarang di wajahku. Karena itu aku pasrah saja.
  666.  
  667. Meskipun kami sudah sampai di tempat tujuan, enggak menghilangkan kemungkinan kalau aku bakal dipukuli. Tapi kuharap ini bisa selesai lebih cepat, aku rela memberi apa saja untuk itu.
  668.  
  669. "... kita sampai."
  670.  
  671. Aku dibawa ke belakang gedung sekolah, di mana jarang sekali ada orang yang lewat sana.
  672.  
  673. Haruskah aku menjerit kalau terjadi apa-apa? Berapa banyak pukulan yang bakal kuterima sampai bantuan tiba?
  674.  
  675. ... dan untuk apa aku memikirkannya kalau ujung-ujungnya juga tetap dipukuli?
  676.  
  677. Meski begitu, aku tetap enggak tahu jawabannya.
  678.  
  679. Apa ini karena rasa takutku yang berasal dari paksaan gadis ini?
  680.  
  681. ... aku berusaha mencari tahu maksud dari semua ini.
  682.  
  683. Bahkan aku enggak tahu apa sebenarnya ini.
  684.  
  685. Apa ini karena rasa takutku yang berasal dari paksaan seorang Ayame di depanku ini?
  686.  
  687. "Ma-maaf sudah membawamu ke sini ...."
  688.  
  689. "Eng-enggak apa-apa, kok ..., Mbak."
  690.  
  691. "Sudah, enggak usah bicara sok sopan lagi! Kita ini lagi enggak di kelas, tahu?!"
  692.  
  693. "Ma-maaf, M ... ah, eh, eng ... maaf."
  694.  
  695. Aku hampir keceplosan lagi.
  696.  
  697. Dia sudah susah payah membawaku ke sini, kurasa aku bakal dipukuli sampai babak belur.
  698.  
  699. Tapi jika benar demikian, aku mungkin harus jaga-jaga agar enggak terlalu banyak menerima pukulan ....
  700.  
  701. "...."
  702.  
  703. Namun kami berdua mendadak terdiam. Sialan, ayo cepat ...!
  704.  
  705. "Begini ...."
  706.  
  707. Akhirnya Ayame bicara.
  708.  
  709. "Ah, anu ...."
  710.  
  711. Mulutku tetap terkunci, hingga enggak ada suara yang keluar.
  712.  
  713. "Kamu sudah punya pacar, enggak?"
  714.  
  715. "Haaah?!"
  716.  
  717. Gadis ini bicara apa? Jika aku bilang punya, mungkinkah dia akan ikut membawa orang yang apes itu juga kemari?
  718.  
  719. "Eng-eng-enggak punya."
  720.  
  721. Aku menjawabnya dengan begitu ketakutan. Begitu takutnya sampai-sampai aku enggak tahu alasanku untuk takut.
  722.  
  723. ... tapi kenapa aku harus takut padanya?
  724.  
  725. Sewaktu gerombolan preman hendak memerkosanya Minggu kemarin, aku jauh lebih ketakutan dibanding ini.
  726.  
  727. Apa karena gadis ini lebih menakutkan daripada gerombolan preman itu?
  728.  
  729. Saat ini, aku berpikir apa yang bakal lebih menakutkan dari ini? Memangnya apa ...? Ada-ada saja.
  730.  
  731. "Benar kamu enggak punya pacar?"
  732.  
  733. "Ah, eng ...."
  734.  
  735. Tenang dulu, aku masih belum yakin jika itu yang ingin dia tanyakan. Jika dia belum membicarakannya dan aku langsung mengasumsikan begitu, aku bisa malu sendiri. Kuharap hal-hal yang bisa membawa kembali trauma masa laluku itu enggak akan selamanya menghantuiku.
  736.  
  737. Namun setelah semua pemikiran tadi, otakku kembali kosong.
  738.  
  739. "Baik, langsung intinya saja, ya."
  740.  
  741. Ayame berlagak malu, tapi ada sesuatu yang mau dikatakannya.
  742.  
  743. "Aku mau jadi pacarmu."
  744.  
  745. ....
  746.  
  747. .......
  748.  
  749. ..........
  750.  
  751. "Hah?"
  752.  
  753. "Berapa kali lagi harus kuulangi?! Ku-kubilang, 'Aku mau jadi pacarmu!"
  754.  
  755. "Ke-kenapa?"
  756.  
  757. Aku langsung menanyakan alasannya. Soalnya aku enggak bisa menerima apa yang kini sedang terjadi.
  758.  
  759. "Ka-ka-kamu waktu itu sudah menyelamatkanku .... Itu alasannya!"
  760.  
  761. "Ap- eh .... Ja-jadi gadis yang kemarin diserang itu ..."
  762.  
  763. "Ka-kamu benar enggak tahu?! Ya-yah, aku juga enggak menyangka, sih! Karena pertolonganmu, aku jadi bisa menyelamatkan diri! Kamu datang saat kupikir enggak bakal lagi selamat. Dan inilah aku aku sekarang!"
  764.  
  765. Begitulah penjelasan— tapi tunggu dulu ...!
  766.  
  767. "Cuma gara-gara itu?"
  768.  
  769. Yang kulakukan cuma menyelamatkannya dari upaya pemerkosaan dan dia langsung jatuh cinta padaku?! Itu terlalu naif!
  770.  
  771. "Memangnya salah? A-a-aku sangat senang ka-kamu menyelamatkanku ...!"
  772.  
  773. Wajah Ayame memerah, apa dia memang serius?
  774.  
  775. "A-aku sungguh-sungguh. Sejak saat itu aku ingin berterima kasih padamu. Ini pertama kalinya aku merasakan yang seperti ini. Aku enggak mengerti dan ini mengusikku ..."
  776.  
  777. Setelah selesai bicara, Ayame lalu mengatupkan bibirnya. Aku mulai merasa tenang.
  778.  
  779. "Be-begitu, deh ...! Jadi itulah ceritanya!
  780.  
  781. Dia berusaha mendapatkan jawaban dariku, tapi aku sudah punya jawaban sebelumnya.
  782.  
  783. "Ma-maaf, aku enggak bisa."
  784.  
  785. Setelah menjawabnya, wajah Ayame yang tadinya merah berangsur berubah pucat.
  786.  
  787. ... dari keadaannya sekarang, aku sadar kalau ada yang salah.
  788.  
  789. "... bisa beri tahu alasannya?"
  790.  
  791. Dia berbicara dengan nada pelan .... Duh, mungkin aku bakal dipukuli setelah ini.
  792.  
  793. Tapi aku punya pilihan yang harus kubela!
  794.  
  795. "Aku .... Aku hanya tertarik gadis 2D ...."
  796.  
  797. "Eh .... Gadis 2D ...?"
  798.  
  799. "Biar kuperjelas .... Aku hanya tertarik dengan gadis yang ada di 'game' 18 tahun ke atas ...."
  800.  
  801. Kenapa aku harus menjelaskan ini padanya? Bukannya dia sudah tahu?
  802.  
  803. "Ha-haaah? Jadi kamu lebih tertarik gadis yang ada di 'game' daripada aku?!"
  804.  
  805. "I-iya! Memangnya itu salah?"
  806.  
  807. "Soalnya itu enggak nyata!"
  808.  
  809. "Terus kenapa?! Yang penting gadis impianku itu tetap ada di layar monitor!"
  810.  
  811. "Aku sudah susah payah mengubah diriku! Mulai dari hobi, gaya rambut, bahkan cara bicaraku!"
  812.  
  813. Pasti dia mengetahui hal tersebut dari Tozaki! Dia benar, aku memang suka gadis berambut hitam yang dikucir dua!
  814.  
  815. Tapi gadis ini terlalu berlebihan menanggapinya, dan dia melakukan hal tersebut agar perasaannya bisa tersampaikan padaku. Biar begitu, aku tetap enggak punya ketertarikan dengan gadis 3D.
  816.  
  817. Namun tampaknya ada yang belum diberi tahu Tozaki padanya, seperti aku enggak suka barang buangan, haram, cacat ataupun bekas orang.
  818.  
  819. Kenapa pula aku sampai membeberkan ketertarikan dan hobiku pada anak itu? Padahal kami punya hobi yang berbeda ...!
  820.  
  821. Jika gadis ini bukan salah satu tokoh dalam 'game' atau bukan 3D, mungkin dia sudah kukejar-kejar!
  822.  
  823. Untuk saat ini kemungkinan aku bakal dihabisi entah secara fisik ataupun secara verbal — walau sebenarnya aku enggak mau dibegitukan!
  824.  
  825. "Kamu ...."
  826.  
  827. Ah, sial. Tampaknya dia murka.
  828.  
  829. "Baiklah ...."
  830.  
  831. (http://goo.gl/wTFHo1)
  832.  
  833. Dia mencengkeram sampai ke kerah kemejaku. Aduh, kumohon jangan keras-keras memukulnya!
  834.  
  835. "Oke ...!"
  836.  
  837. Hiii ...! Aku enggak bisa selamat lagi! Siapa saja tolong aku!
  838.  
  839. "Yang penting aku harus jadi gadis yang lebih manis dari yang kamu lihat di 'anime' dan 'game' itu, 'kan?! Maumu seperti itu, 'kan?"
  840.  
  841. Ayame baru saja mengatakan hal di luar nalar yang sekaligus membuatku enggak bisa berpikir jernih.
  842.  
  843. "Aku akan menjadi gadis yang kamu impikan! Aku akan menjadi gadis itu, lihat saja!"
  844.  
  845. Enggak mungkin! Kenapa dia enggak menyerah saja?!
  846.  
  847. "Tung-, hati-hati, a-ada jurang gelap di antara dunia 2D dan 3D!"
  848.  
  849. "Enggak masalah! Aku enggak akan kalah!"
  850.  
  851. Ayame lalu melepaskan cengkeramannya.
  852.  
  853. "Bersiaplah, aku akan menjadi gadis yang kamu impikan, lihat saja!"
  854.  
  855. Dia serukan keputusannya itu dengan lantang. Setelah itu dia pun pergi, meninggalkanku sendiri.
  856.  
  857. "Dia ingin menjadi gadis impianku? Serius ...? Tapi bagaimana caranya dia menjadi sesuai dengan yang aku mau ...?
  858.  
  859. Dia benar-benar serius atau dia memang bisa mengubah dirinya menjadi objek 2D?
  860.  
  861. Yah, setidaknya aku enggak dipukuli. Beruntung, deh.
  862.  
  863. Meski begitu, aku juga harus melakukan sesuatu sebisa mungkin agar gadis itu enggak melukaiku sedikit pun.
  864.  
  865. Namun jika membayangkan yang bakal terjadi nanti, bisa saja ujung-ujungnya aku dihabisi. Jadi sebisa mungkin pula aku membiarkan dan merelakan ini apa adanya ....
  866.  
  867. Itu sebabnya, sementara ini kurasa aku bisa untuk menjadi target dari Ayame.
Advertisement
Add Comment
Please, Sign In to add comment
Advertisement