Advertisement
Guest User

xxxx

a guest
Nov 11th, 2019
205
0
Never
Not a member of Pastebin yet? Sign Up, it unlocks many cool features!
text 8.93 KB | None | 0 0
  1.  
  2. Namanya Elizabeth Margolis.
  3.  
  4. [i]Bukan Julia,[/i] bukan Julia Margolis, meskipun ia selalu memperkenalkan diri dengan nama itu. Umurnya menginjak angka tiga puluhan akhir per bulan Juli tahun ini. Tinggalnya di ABQ, New Mexico. Pencapaian terbesar dalam hidupnya baru-baru ini adalah tetap berpembawaan santai meski ia adalah calon tahanan pada investigasi yang melibatkan perputaran uang palsu. Orang akan percaya bila dia bilang hidupnya adalah untuk pekerjaan yang terang dan putih—yang menyenangkan dan melibatkan banyak senyum dan barangkali gula di sana sini—alih-alih kartel yang suram-muram dan tiap hari dihembusi berita kematian. Karena beginilah pembawaannya: ia banyak tersenyum, banyak bercanda, banyak tertawa, garis senyum di wajahnya tegas. Bahu dan posturnya tegap. Barangkali karena pekerjaan yang memaksa fisiknya buat banyak bergerak, barangkali karena ia tidak ingin mengawetkan kesan rapuh di sana.
  5.  
  6. [color=grey]“Lagipula kamu juga baru pulang besok. Apa susahnya mengirimkan satu SMS saja.”[/color]
  7.  
  8. Kali ini, dilatari oleh [i]Corolla[/i] keluaran 2006, aroma parfum kendaraan yang berbaur dengan aroma kretek terbakar, ia duduk dengan tangan memegang setir. Ekor matanya mengerling ringkas untuk menangkap gambaran latar yang lebih luas lagi: pelataran parkir supermarket grosir yang kosong, langit malam Dua Puluh Satu Desember yang berawan, juga seorang anak lelaki yang sibuk mengetik ucapan selamat ulang tahun buat seorang kenalan dari kamp musim panas.
  9.  
  10. Julia menyeletuk. Layar ponsel yang menyala menerangi raut si anak lelaki yang tertekuk sebal.
  11.  
  12. “Aku kadang—sering, sih—enggak paham.”
  13.  
  14. [color=grey]“Apa?”[/color]
  15.  
  16. “Soal dikejar monster.”
  17.  
  18. Brandon Margolis, anak laki-laki itu, merilis hela napas dalam. [i]Selalu, dan selalu begitu.[/i] Julia akan tahu kalau ada yang salah dari cara anak laki-laki itu menarik-hembuskan napas: panjang, dalam, dan kuat. [i]Dramatis[/i]. Seakan-akan anak lelaki itu tidak dilahirkan dari rahimnya melainkan merangkak keluar dari lembar-lembar buku dongeng. Seakan-akan tahun kesebelasnya hidup berkali-kali lipat lebih berat dari siapapun. Ia selalu tahu bahwa anak lelaki itu perlu penghiburan di saat-saat seperti ini.
  19.  
  20. “Bukannya aku enggak percaya.”
  21.  
  22. [i]Kamu selalu seperti itu. Serius buat hal-hal yang enggak masuk akal.[/i] Ia menggelengkan kepala gemas sewaktu mata mereka bertukar tatap. Tanpa eksplanasi verbal, tawanya lolos. [i]Dan, tidak apa-apa. Enggak ada yang salah dari itu. Aku sudah capek enggak percaya, sampai sekarang yang bisa kulakukan cuma percaya.[/i]
  23.  
  24. [color=grey]“Tapi?”[/color]
  25.  
  26. [i]Kamu selalu seperti itu, mempertanyakan hal yang sebenarnya enggak perlu dipertanyakan.[/i]
  27.  
  28. “Tapi, kupikir, repot sekali kalau jadinya kamu enggak bisa kirim pesan dengan leluasa.” Ia menyeringai, menutup kalimat dengan siul pendek, karena tiba-tiba atmosfer yang melingkupi mereka mengubah muatan. Tak ada lagi hela napas yang menuntut ralat. Anak lelakinya mengalihkan tatap pada bayangan yang terpantul pada kaca jendela; marah untuk alasan-alasan yang—sedikit-banyak—bisa diprediksi, [i]merah[/i] untuk alasan-alasan yang—terang-terangan—telah diketahuinya apa.
  29.  
  30. “Kamu enggak mau menulisinya surat saja?”
  31.  
  32. [color=grey]“Enggak.”[/color]
  33.  
  34. “Memangnya, mosnternya bisa menyadap suratmu? Mencabik amplop di tengah jalan? Membakar amplopmu sampai suratnya enggak akan sampai?”
  35.  
  36. [color=grey]“... enggak. Enggak gitu.”[/color]
  37.  
  38. “Jadi, kenapa?”
  39.  
  40. Mereka berbagi sifat yang sama: [i]sama-sama gemar menuntut bila kadung penasaran atas yang lain[/i] Ini sebenarnya agak kurang adil. Ia, yang notabene sudah berusia tiga puluh delapan, tak punya sungkan buat memaksakan keharusan untuk menjawab pada si anak lelaki sebelas tahun. “Kenapa, [i]dan[/i], kenapa?” Mata biru berwarna identik dengan matanya memutar malas, menatapi kap dalam mobil mereka seakan jawaban pertanyaan Julia ada di sana. Ia meneruskan rangkaian pemaksaannya; tanpa paksaan, “Beberapa puluh tahun lalu, sebelum ada telepon dan ponsel, orang-orang juga kirim kabar pakai surat. Atau telegr—”
  41.  
  42. [color=grey]“Enggak bisa nulis.”[/color]
  43.  
  44. Jawaban itu membuat kepalanya menggeleng. [i]Tidak percaya.[/i] Sejak anak lelakinya belajar memaknai kata, ‘bisa’ adalah kata yang ia tanamkan dalam-dalam. [i]Kalau mau, enggak mungkin enggak bisa. Kalau enggak bisa, lakukan dengan cara lain yang membikinmu merasa bisa. Kalau enggak ada cara lain, cari. Bisa. Masalahnya cuma sejauh mana kamu mau.[/i]
  45.  
  46. Dan ia tahu.
  47.  
  48. [color=grey]“Enggak sabar nunggu jawabannya. Berhari-hari. Aku enggak mau.”[/color]
  49.  
  50. Anak itu keras kepala. Dengan kadar berlimpah-ruah yang membikinnya gemas sendiri. Kadangkala kegemasan ini membuatnya kepengin memanggil, [i]sekadar untuk tahu seperti apa rautnya kala mempertahankan prinsip,[/i]
  51.  
  52. “Brandon.”
  53.  
  54. [color=grey]“Hmm?”[/color]
  55.  
  56. [i]sekadar untuk tahu, hal-hal macam apa yang berpusar pada kepalanya; apa yang dipikirkannya, apa yang tidak Julia ketahui.[/i]
  57.  
  58. “Seperti apa, Konselor Morrigan ini?”
  59.  
  60. Tidak ada jawaban yang terdengar. Hening melimpahi mereka dengan jeda panjang. Sayup-sayup suara gerung mesin penghangat terdengar dan memanasi telapak tangannya. Julia Margolis memutar bahu, menatap puteranya yang tengah mengutak-atik ponsel; memencet tuts dengan ragu-ragu. Keraguan itu bertahan lama—disamarkan oleh kerut di kening dan decak ringkas—dan baru lenyap sewaktu layar ponsel yang menyala disodorkan dengan terlalu dekat. [i]Oh. Lihat mukamu. Seandainya kamu bisa melihat mukamu sendiri di detik ini.[/i] Seringainya naik sebentar, berubah jadi tawa, lalu jadi senyum, lalu bertahan. Seolah semua perubahan interaksinya dilakukan untuk membalas senyum perempuan dalam layar.
  61.  
  62. Lama, ia abai pada ketidaksabaran yang menyorot padanya lewat tatap si anak lelaki sebelas tahun. Lama, ia abai pada mulut yang terbuka namun tak sanggup mengucap apa-apa.
  63.  
  64. “Kayak baik.”
  65.  
  66. [i]Itu jujur.[/i] Dan Brandon menatapnya seolah ia lagi menyulam kemustahilan. Anak lelaki itu tampak tak paham dan pasrah saja sewaktu ponsel di tangannya berpindah tangan. Julia mengangguk, mengamati layar di depannya tanpa kedip. Ia, yang tak punya modal dasar besar dalam perkara membaca orang lain, tengah berusaha mencari garis lurus kesamaan antara dara bernama Morrigan dengan kenalan-kenalan terdekat puteranya. Dengan Katya Lawrence yang tinggal beberapa blok dari rumah mereka. Dengan Roxy Yanuel maupun Dima Kuznets yang sekali waktu disebut lewat cerita. Dengan Dylan dan Thibault yang belakangan gemar berkunjung. Dengan Joaquim. [i]Dengan dirinya.[/i]
  67.  
  68. [color=grey]“Orang-orang bilang dia galak, nyeremin, jago berkelahi.”[/color]
  69.  
  70. “Iya?”
  71.  
  72. Julia tertawa.
  73.  
  74. [color=grey]“Iya.”[/color]
  75.  
  76. Brandon tertawa. [i]Khas.[/i] Banyak ketidakikhlasan yang merekati tawa si sebelas tahun; seolah ia tengah menertawakan lelucon yang sulit dipahami bagian lucunya. Yang berbeda dan jarang-jarang terjadi, pada penggal-penggal tawa itu, Julia tahu anak lelakinya [i]sungguh[/i] tertawa. Mungkin di satu atau dua patahan tawa,
  77.  
  78. “Kamu enggak takut dengannya?”
  79.  
  80. [i]mungkin lebih.[/i]
  81.  
  82. [color=grey]“Enggak, lah?”[/color]
  83.  
  84. Brandon selalu berani. Itu juga bukan kejutan. Keberaniannya tersebar dimana-mana, mengapung di aliran darah tanpa punya landasan yang ajeg, ikut memotori gerak tubuhnya, dan kadang-kadang menunjukkan diri lewat tindak-tanduk serampangan yang tak bisa diapa-apakan. Itu juga bukan kejutan. Tetapi kini Julia sedang mau tahu. Maka, di antara ketukan pelan dari luar jendela oleh tangan penjaga parkir, di antara peringatan non verbal kalau lapak parkir ini hendak ditutup dan mereka musti lekas-lekas keluar, wanita itu bertanya:
  85.  
  86. “Kenapa?”
  87.  
  88. [color=grey]“Lebih takut kalau dia kenapa-kenapa.”[/color] Raut anak lelaki itu serius. [color=grey]“Lebih takut kalau kamu tambahi SMSku dengan kata-kata yang enggak penting.”[/color] Julia menelengkan kepala selagi anak lelakinya mencetuskan dengus. Ia selipkan jemari di antara helai-helai kecokelatan puteranya. Mengacak. Gemas. [color=grey]“ Jangan pegang-pegang. Jangan perlakukan aku kayak anak kecil—”[/color]
  89.  
  90. Di antara dumal-dumal panjang dan siaran radio mobil yang memberitakan perkiraan cuaca besok, Julia Margolis tertawa. Berhasil diberhentikannya kereta bermuatan protes punya Brandon Margolis dengan sebuah janji sederhana:
  91.  
  92. “Nanti kukirimkan. Persis. Enggak ada yang diubah.”
  93.  
  94.  
  95.  
  96. ___
  97. [align=right][b]22-12-2008[/b]
  98. (00:14)
  99. _________
  100. selamat ulang tahun.
  101. salah gak tanggalnya?
  102. aku bakal balik ke perkemahan tanggal 26
  103. seneng gak?
  104. kamu ada di perkemahan tanggal segitu?[/align]
  105.  
  106.  
  107.  
  108. [align=right]___
  109.  
  110. [font=times][color=grey][i][b]WINTER, 2008[/b][/i]
  111.  
  112. “Hei, Julia. Benarkah cuma orang yang kelewat sial yang mati sebelum umur tiga puluh depan?”
  113.  
  114. [i]Edreia Morrigan boleh percaya jika dirinya bukan orang yang beruntung. [/i]Tetapi muluk, kah, bila Brandon Margolis mau percaya jika ketidakberuntungan Edreia tidak sampai kelewatan?[/color][/font]
  115.  
  116.  
  117. ___[/align]
Advertisement
Add Comment
Please, Sign In to add comment
Advertisement